Monday, January 30, 2006

ThIs Is A sToRy.....

Mrs.Sri, sahabatku.


Aku termasuk orang yang beruntung dapat memperoleh beasiswa penuh dari sebuah sekolah internasional di Kuala Lumpur dengan masa pendidikan selama 2 tahun di sana. Waktu itu aku hampir selesai dengan kuliahku di FKIP Bahasa Inggris di Unika Atmajaya Jakarta ketika aku menemukan iklan di harian Kompas tentang beasiswa tersebut. Mereka menawarkan kesempatan mengajar sebagai guru bantu di sekolah itu sambil menerima pelatihan mengajar di sekolah internasional setiap hari Sabtu. Di akhir pelatihan, akan diuji untuk mendapatkan sertifikat mengajar yang diakui secara internasional karena diterbitkan oleh Universitas Manchester di Inggris.

Setelah berunding dengan kedua orangtuaku, aku menulis lamaran yang menyatakan kondisiku saat itu dan berminat dengan tawarannya. Setelah melewati wawancara sebanyak 3 tahap akhirnya aku dinyatakan diterima. Ada 3 calon lain dari Indonesia yang juga diterima setelah wawancara terakhir, tetapi entah mengapa, pada saat saya harus berangkat ke Kuala Lumpur hanya tinggal aku satu-satunya yang bersedia menanda tangani perjanjian yang disyaratkan, ketiga calon yang lain ternyata mengundurkan diri.

Jadilah aku anak sebatang kara di Kuala Lumpur tanpa satu temanpun dari Jakarta. Tetapi tekadku sudah bulat, aku pantang menyerah dengan keadaan itu. Ketika aku melapor atas kedatanganku di Kuala Lumpur, bersamaan dengan aku juga melapor seorang guru perempuan berkebangsaan India yang berasal dari Singapore. Kami berdua ditempatkan di sebuah apartemen yang sama yang kondisinya cukup baik, masih baru dan lengkap dengan kolam renangnya.

Sayang, tidak terlalu lama kami bersama tinggal disana, teman seapartemenku merasa tidak kerasan dan pindah kepemondokan di luar. Tinggallah aku sendirian di apartemen itu. Aku tidak perduli. Cita-citaku menjadi seorang guru yang berkwalitas mengalahkan kesepian yang aku hadapi.

Namun, sebagai seorang perantau muda yang baru saja menginjakkan kakiku keluar, rasa kesepian dan kerinduan akan kehangatan keluarga di Jakarta seringkali begitu menyiksaku. Syukurlah, adanya e-mail dan fasilitas ‘chatting’ via internet dengan adik dan orangtuaku dapat menjadi sarana untuk menghilangkan rasa sepi dan keterasinganku di Kuala Lumpur.

Dalam perjuanganku sebagai perantau muda itulah, di sekolah tempat aku mengajar dan menerima pelatihan, aku bertemu dengan Mrs.Sri, seorang ibu guru senior berkebangsaan India. Sikap keibuannya yang natural sangat menarik buat aku. Kepada beliaulah secara tidak sadar seringkali aku mencurahkan isi hatiku tentang kesulitan-kelsulitan yang aku hadapi, baik di sekolah ketika mengajar anak-anak yang datang dari berbagai bangsa seperti Korea, India, Cina, Jepang dan juga Indonesia dengan karakter mereka masing-masing yang unik dan seringkali menjadi sumber konflik diantara mereka maupun kesepianku sebagai anak sebatang kara di apartemenku seusai mengajar.

Mrs.Sri rupanya memahami keadaanku. Ketika kami sama-sama mempunyai waktu luang seusai sekolah Mrs.Sri seringkali mengajakku berbelanja keperluan rumah tangganya ke supermarket. Sambil mencari bahan-bahan makanan yang beliau perlukan, beliau menjelaskan kegunaan masing-masing bahan dan jenis masakan yang beliau akan buat. Aku jadi mengenali berbagai masakan dan makanan khas India seperti karee, muruku, japati, papadam dsb. Lidah Indonesiaku yang semula merasa asing dengan makanan-makanan itu, lambat laun dapat menyesuaikan diri dan menyukainya juga.

Demikianlah, persahabatanku dengan Mrs.Sri yang dimulai dari hubungan antara guru senior dan juniornya sedikit demi sedikit melintasi batas-batas sebagai rekan kerja di sekolah saja, tetapi memasuki hubungan persaudaraan yang lebih mengarah kepada hubungan seorang ibu dengan puterinya. Tumbuh rasa cinta dan kasih sayang diantara kami, aku sangat mengagumi beliau dan beliaupun sangat memperhatikan aku.

Ketika saya pulang berlibur, Mrs.Sri sering membekali aku dengan makanan India sebagai oleh-oleh untuk keluargaku. Sebaliknya, ketika aku kembali ke Kuala Lumpur setelah liburan usai, sebagai balasan atas perhatian beliau ibuku juga menitipkan bingkisan khas Indonesia untuk beliau.

Akhirnya, masa 2 tahun berlalu dan aku kembali ke Jakarta. Hubungan kamipun tidak terputus, surat-surat menjadi penghubung yang setia diantara kami. Aku merasa telah meninggalkan seorang sahabat yang sangat baik di Kuala Lumpur dan sikapnya yang keibuan menggoreskan kesan yang amat dalam di hatiku.

Kesan akan cinta yang murni, yang keluar dari hati seorang ibu kepada seorang perempuan muda yang belum tahu apa-apa yang belajar menaklukkan dirinya sendiri dengan merantau ke Negara asing sebatang kara. Cinta yang melintasi batas-batas bangsa, suku dan agama. Mrs.Sri adalah pemeluk agama Hindu yang taat dan aku beragama katolik. Cinta memang bersumber dari Tuhan sendiri, dan Tuhan tidak pernah membedakan manusia yang merupakan citraNya sendiri.

No comments: